Senin, 23 Mei 2011

Servis is Care

RITA RETNANINGTYAS. Saat gempa dan air bah melumat sebagian wilayah Jepang, ia memilih bertahan. Ia tidak lari untuk menyelamatkan diri. Perempuan asal Banyumanik, Semarang, Jawa Tengah ini memilih bertahan di Rumah Sakit Nasional Miyagi—tempatnya bekerja sebagai perawat. Ia memilih menjadi teman bagi para pasien yang panik akibat bencana itu.

Pemerintah Jepang memberikan penghargaan kepada Rita atas jasanya menolong para korban bencana.  Nama Rita pun terkenal di aneka pemberitaan. Rita bekerja  di RS Miyagi sejak 2009. Ia adalah TKI yang dikirim BNP2TKI melalui program kemitraan Jepang-Indonesia. Meski tetap bertahan di Miyagi, Rita tetap berbagi kabar tentang keselamatannya, khususnya dengan suaminya yang ada di Indonesia.
Ada yang menyebut pilihan Rita adalah tindakan heroik. Ada pula yang menyebut profesionalitas seorang perawat. Menurut saya, apa yang dilakukan Rita adalah bentuk dari care. Ia memang bertugas melayani (servis)  para pasien karena memang dia perawat. Tapi, lebih dari itu, dia memilih menjadi teman bagi  para pasien yang bisa dibayangkan betapa paniknya saat itu. Ia tidak hanya melayani pengobatan mereka. Lebih dalam dari itu, ia mampu membaca apa yang menjadi kebutuhan dan  kecemasan para pasien yang tak lain butuh teman.
Itulah sepotong pengantar tulisan saya tentang servis dan care. Mari kita bedah perlahan. Merujuk pada buku “Connect! Surfing New Wave Marketing” (Gramedia, 2000), servis tidak bisa dipisahkan dark konsep RATER—reliability, responsiveness,  assurance, empathy, tangibles. Model RATER ini jamak dipakai untuk mengukur industri untuk mencapai service excellence. Konsep servis ini sudah dikembangkan sejak dua dekade silam—sekitar tahun 1980-an.
Namun, zaman sudah berubah. Sekarang, terjadi horisontalisasi dan transparansi di berbagai bidang di mana konsumen semakin cerdas, tahu banyak hal, dan mempunyai posisi tawar tinggi. Posisi produsen dan konsumen pun sejajar. Sebab itu, konsep servis ini tidak lagi mencukupi. Mengingat konsep servis itu cenderung satu arah dan top down—di mana perusahaan sebagai pemberi servis dan konsumen sebagai objek penerima servis. Intinya, di dunia horisontal ini, tak konsumen dijadikan objek. Sebaliknya, konsumen diperlakukan sebagai subjek yang turut menentukan jenis servis yang ia butuhkan. Melibatkan konsumen, dalam hal ini, menjadi sesuatu yang fundamental di era sekarang.
Mayo Clinic, institusi kesehatan di Amerika Serikat, sering dipakai sebagai contoh pemberian perawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien—tak sekadar apa yang diinginkan pasien. Sistem renumerasi di Mayo Clinic membuat pasien terhindar dari pemberian perawatan dan obat yang tidak perlu. Dokter dan perawat benar-benar fokus pada apa yang dibutuhkan pasien. Untuk mengetahui apa yang menjadi kebutuhan pasien, komunikasi personal antara dokter dan pasien menjadi kemutlakan. Lebih dalam dari itu, dokter dituntut menjadi sehabat bagi pasien untuk mengetahui apa yang menjadi anxiety dan desire dari pasien. Di Mayo Clinic, pasien menjadi subjek setara dengan dokter yang tidak bisa dipermainkan. Semua serba transparan. Pasien sekarang bisa dengan gampang mencari tahu tentang seluk beluk penyakit dan perawatannya. Dokter tidak boleh lagi membohongi pasien dengan aneka tujuan selain menjawab kebutuhan pasien tersebut. Inilah yang dalam New Wave Marketing disebut dengan care.
Kembali ke sosok Rita, saya pikir dia telah mempraktikkan care tersebut dengan memilih menjadi teman di saat pasien dalam kepanikan di tengah-tengah rasa sakitnya. Mungkin, gambaran sosok Dokter Patch Adam—seperti tergambar dalam film yang dibintangi Robin Williams—cukup mewakili dokter dan perawat yang menerapkan prinsip care tersebut.
Selain di institusi kesehatan, care selayaknya diterapkan oleh perusahaan lain kepada konsumennya. Ada tiga perbedaan utama antara servis dan care. Pertama, care lebih fokus pada kebutuhan konsumen (need) dan bukan apa yang diminta (want). Pada posisi ini, konsumen tidak lagi diperlakukan sebagai raja di mana segala permintaannya kita penuhi.
Perbedaan kedua terletak pada praktik pelaksanaannya. Biasanya, dalam servis, pemasar berusaha agar bisa memberikan kepada konsumen di luar ekspektasinya. Sementara, di dalam prinsip care, produsen memberikan apa yang paling relevan seturut kebutuhan dan harapan konsumen. Care ini mampu membuat konsumen mendapatkan pengalaman tak terlupakan.
Perbedaan ketiga terletak pada pengukuran keberhasilan. Biasanya, servis dikaitkan dengan berapa besar re-purchase—konsumen akan membeli lebih sering lagi. Care lebih pada layanan terbaik kepada konsumen sehiongga mereka dengan senang hati akan memberi rekomendasi kepada konsumen lain. Dalam konteks ini, rekomendasi jauh lebih penting dari repeat buying (Connect!, hlm. 200).
Ada banyak contoh merek yang sekarang sudah menerapkan konsep care ini. Starbucks, misalnya, telah mentransformasi diri—tentu berkat peran pendirinya Howard Schultz—dalam bentuk Starbucks Experience. Bagi Schultz, hal ini tak akan tercapa bila pegawai Starbucks tidak menunjukkan respek dan dignity bagi pelanggan.
Starbucks juga tidak memosisikan pelanggan sebagai raja, tapi sejajar. Schultz selalu menempatkan pelanggan sebagai pusat aktivitas perusahaan, tapi ia tidak percaya pada survei pelanggan. Survei pelanggan ini, kata Schultz, hanya mencerminkan apa yang diminta pelanggan dan bukan yang dibutuhkan. Ia lebih percaya pada observasi yang mengusung apa yang dibutuhkan mereka. Langkah radikal yang dilakukan Starbucks kala itu adalah menghapus menu sandwich sebagai sarapan yang dihangatkan tiap pagi. Padahal sandwich ini sangat diminati oleh sebagian pelanggan. Schultz merasa aroma sandwich mengganggu aroma kopi yang menjadi ciri khas Starbucks.  Dari sini terlihat bahwa tidak semua yang diminta konsumen bisa dipenuhi oleh perusahaan.

0 komentar:

Posting Komentar